26 April 2013

Elok Sakura yang Menggoda

Angin musim dingin masih kencang bertiup menerpa wajahku saat ujung ranting sakura dipenuhi kuncup yang siap merekah. Di area kampus yang luas ini tak sulit menemukan barisan pohon sakura yang tertata rapi namun berkesan alami. "Wah, sebentar lagi sakura mekar", ujar seorang temanku. Sebagai mahasiswa asing di sini, tak ada yang lebih menggetarkan hati kecuali perubahan alam yang tak pernah kami temui di negeri asal kami. Beberapa teman sudah mencari info tentang lokasi favorit untuk hanami (piknik sambil melihat bunga sakura). Penghuni asrama menanti bunga yang hanya mengeluarkan wajahnya sekali dalam setahun ini.


Namun ternyata tak hanya kami saja yang heboh tentang kemunculan sakura. Setiap prakiraan cuaca di pagi dan tengah malam, tak ada yang lupa menampilkan prediksi mekarnya sakura di tiap daerah. Di supermarket, mulai banyak jajanan tradisional bertema sakura. Ada sakuramochi (sejenis jajanan dari moci yang berwarna merah muda dan dibungkus daun sakura), ada produk baru dengan tema musim semi dengan batas waktu penjualan, dan ada cake berbentuk kelopak sakura. Mulai banyak pula etalase toko pakaian yang dihiasi baju berwarna-warni untuk musim semi. Tak hanya itu, di toko serba 100 yen pun, mulai banyak dijual alat-alat piknik seperti kursi lipat, matras kecil, dan keranjang makanan.


Saat tiba pada waktunya, aku mengaku tak pernah bosan memandang bunga merah mudanya yang mekar sempurna berhiaskan langit biru tak berawan sebagai latarnya. Melewati barisan pohon sakura saja sudah membuat hati merasa bahagia, pikiran kembali segar dan keceriaan membuncah seperti baru saja menghabiskan es krim di siang yang panas. Orang-orang memenuhi taman kota. Di bawah sakura, beralaskan karpet kecil mereka duduk, makan, mengobrol sambil minum sake bersama keluarga, sahabat dan kekasih.

Seakan mengeluarkan mantra, kelopak yang jatuh berputar-putar ringan menari dengan angin pun akan membuatmu berhenti berjalan dan mendongak ke atas untuk menikmatinya. Waktu seakan berhenti. Sekeliling menjadi hening dan syahdu. Hanya aku, angin dan kelopak sakura.


Namun sakura tak berumur panjang. Helai perhelainya jatuh ke pelukan angin, mengikuti rintik hujan, atau kadang jatuh hanya karena ingin menemui tanah.

Semua memiliki waktunya. Indahnya bukan hanya saat dia mulai mekar. Saat masih kuncup maupun saat jatuh memeluk tanah, sakura cantik dengan caranya. Hanya saja aku ingin menikmatinya lebih lama. Dia hidup terlalu singkat. Karena singkatnya, aku ingin memiliki waktunya sebanyak mungkin sebelum tiba pada akhir. Karena singkatnya, dia jadi berharga. Dia menjadi lebih cantik karena ada batas waktu untuk menikmatinya.


Intinya, sesuatu yang 'terbatas' memang selalu menggoda. hahaha

19 January 2013

Perdamaian. Akankah tercapai?

Kalau kata 'perdamaian' muncul, yang pertama kali terpintas di kepala pasti seputar perang, politik, militer, konspirasi, dan teror. Hal sebesar itu, hanya dengan membayangkannya saja kadang diri ini jadi merasa sangat kecil dan tanpa daya. Ingin merubah keadaan tapi tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Tak sedikit pula yang akhirnya sebel sendiri dan memilih berhenti memusingkannya. Termasuk aku. Kalau kata Ayahku, "Yang penting kalian kakak beradik bisa hidup rukun, Abah udah seneng banget." Ya bener juga sih..Toh damai itu pertama kali dirasakan dari lingkungan terdekat.

Dalam lingkungan kelas saja, satu masalah sederhana bisa panjang buntutnya. Sampai dibawa-bawa ke ruang publik dunia maya juga. Bagaimana jadinya jika yang berseteru itu satu suku, atau satu bangsa?
Misal kita tanya satu-persatu orang yang hidup di bumi ini, bukan, cukup di sekitar kita saja, "Apakah kamu menginginkan perdaimaian?" Pasti "iya" jawabannya. Kecuali dia punya kelainan mental. Nah, jika semua orang sudah menginginkan perdamaian, mengapa perdamaian itu tak kunjung tercapai?

Masalahnya adalah, 'arti' dari perdamaian bagi masing-masing orang itu berbeda. Harapan orang yang satu berbeda dengan harapan yang lain. Kadang keinginan salah satu orang membentur kenyamanan orang lain. Nah, kalau seperti ini bagaimana?

Aku tidak tahu jawaban seperti apakah yang akan terlontar dari mereka para negosiator perang, atau para peneliti peace education, atau para ahli resolusi konflik di sana. Namun, aku percaya setiap orang pasti punya hati yang menyerukan suara yang sama. Sebagai manusia, mau sejauh apapun perbedaan budayanya, apapun agama dan kepercayaannya, seberapa banyak perbedaan usianya, mereka pasti punya suara hati yang sama. Suara hati yang memunculkan rasa dan sikap saling menghargai makhluk hidup lain. Dengan berbekal ini, saat muncul pertentangan, ada kemungkinan muncul rasa toleransi, sikap mengalah dan inisiatif musyawarah yang semuanya merujuk pada penyelesaian masalah.

Kalau begitu, hanya dengan memelihara 'suara hati' ini, bisakah perdamaian tercapai? Aku tak tahu karena belum pernah meneliti dan melihat perdamaian itu sendiri.
Di satu sisi aku ingin percaya bahwa dengan perdamaian kecil yang dibentuk di tempat masing-masing, perdamaian dalam skala yang lebih besar bisa terbentuk. Bagaimanapun, pesawat akan jatuh jika kehilangan satu skrupnya saja. Satu juta tidak akan jadi satu juta jika keping 100-nya ngglinding. Karena itu aku selalu berkata, aku yang cuma secuil dari seluruh manusia di bumi (dan mungkin ada juga di planet lain) ini, jika bisa menjadi bibit perdamaian yang bagus, suatu saat pasti bunganya yang manis akan merekah. Tak harus menjadi salah satu pasukan perdamaian dan pergi ke Syria sana. Cukup dengan porsi dan peran yang kita bawa sekarang ini, kita bisa menyebar bibitnya. Sukur-sukur ada bibit yang terbawa ke tempat lain.

Di sisi lain, aku juga merasa, hanya dengan menyampaikannya kepada orang-orang di sekeliling kita, bisakah maksud yang sama menyebar sampai dataran di seberang sana?
Boro-boro sampai daratan seberang. Dengan banyaknya lembaga yang mengusung bendera perdamaian, banyaknya ilmu yang meneliti tentang resolusi konflik dan perang seperti sekarang saja, masih banyak masalah yang tak kunjung jelas kapan dan bagaimana diselesaikan. Terlalu banyak hal yang terkait. Apalagi jika sudah menyinggung masalah agama dan kepercayaan.

Intinya, saat memikirkan perdamaian, aku kadang jadi optimistik, kadang juga jadi manusia se-apatis2nya manusia.

Pada akhirnya, perdamaian hanya akan jadi utopia.

Tapi setidaknya kita bisa berusaha mencapai titik terdekatnya.

Karena itu, hormatilah orang tua, jaga hubungan baik dengan saudara, orang tercinta, dan teman-teman berharga.