26 July 2012

aku ingin jadi anak kecil saja

Jika sekarang aku menemukan lampu ajaib,

dan keluar jin yang akan mengabulkan 3 permintaan,

aku akan 3 kali meminta kepadanya,

"Tolong, aku ingin jadi anak kecil saja."

19 July 2012

Senja Pencerah Gundah

Samar angin asin tercium hidungku yang berbalut scarf tipis. Rambutku beterbangan mengikuti angin. “Ah, senja masih lama”, gumamku. Kosongnya jadwal pada hari libur sering membuat badanku yang selalu dikejar waktu ini memberontak ingin bergerak. Kadang aku berjalan memutari komplek apartemen, atau menyisir pantai sambil menunggu senja di bangku favoritku. Hari ini pikiranku tak tenang. Akhirnya aku menggerakkan badanku untuk mengalihkannya. Sepanjang pagi aku membersihkan kamarku. Mengepel lantai, menyortir kertas-kertas bahan kuliah, menyuci baju, hingga mengelap rak-rak gelas di samping pencuci piring. Tak puas juga, aku berjalan-jalan ke manapun kaki melangkah. Yang pasti aku ingin menikmati senja di bangku itu. Maka sampailah aku di sana. Konyolnya, menunggu senja malah membuatku teringat akan segala yang membuatku tak tenang.

Dua tahun yang lalu, seperti tak punya malu aku katakan aku menyayanginya. Tak muluk-muluk, aku katakan pula aku tak berharap dia membalas rasa yang sama. Ungkapan polos dan gamblang itu tampaknya membuat wajahnya memerah sempurna. Samar-samar dia membalas dengan jawaban singkat, “Aku juga, tolong jangan menolak rasa yang sama.”


Senyum kecil tak kuasa kutahan saat mengingat saat itu. Polos sekali, pikirku. Sejak peristiwa itu, jangan bayangkan kami menjadi kekasih hangat yang dimabuk suka cita. Kami tetap seperti biasa, bersahabat, bersama dengan beberapa sahabat dekat kami. Semua berjalan sangat natural tanpa pendekatan yang dipaksakan. Walaupun kedekatan kami sudah banyak dibicarakan jauh sebelum peristiwa itu terjadi, tak satupun yang bertahan di dalam kepalaku. Langsung keluar dari telinga kanan setelah masuk dari yang kiri. Akhirnya semua menyerah mendapatkan cerita dariku dan menerima keadaan ini seperti hal yang lumrah terjadi.


Wah, ada anjing chiba ganteng yang sedang diajak berlari sore oleh pemiliknya. Pantai ini memang tempat paling menyenangkan untuk membawa anjing berjalan-jalan atau sekedar joging melepas penat.


Dia bukan tipe pemelihara binatang. Namun, kupikir dia akan cocok sekali memelihara golden retriever. Sama-sama setia dan penyayang. Selain itu mereka juga sama-sama ganteng. Waduh, kok jadi membandingkannya dengan anjing? Bukan itu maksudku. Aku sangat suka anjing dan fakta bahwa liurnya diharamkan oleh agama yang kuanut membuatku memutuskan untuk ‘memeliharanya’ dalam imajinasiku.


“Sebentar lagi”, harapku senang melihat di batas cakrawala muncul semburat jingga.
Aku tak ingin terus memikirkannya. Namun, kemunculannya di kepala ini sungguh bukan kuasaku. Jika aku tahu siapa yang berkuasa, sungguh aku akan menghabisinya dan mengambil alih seluruh kuasa atas pikiranku. Nyatanya, mungkin lebih baik berdamai dengan rindu ini. Toh aku masih bisa bercakap melepas rindu dengannya.


Pasti senja ini akan lebih syahdu dengan kehadirannya. Mungkin dinginnya angin musim gugur ini dapat berkurang karenanya. Sungguh tak logis. Tapi tak bisa aku berhenti untuk membayangkannya. Membayangkan sosoknya yang duduk bersandar di ujung lain bangku ini. Aku ingin dia juga merasakan sinar surya tenggelam yang samar menghangatkan. Berbagi pemandangan, berbagi semua yang dapat dirasakan indera.


Akhirnya saat yang ditunggu tiba. Matahari bersatu dengan bayangannya di ujung horizon, membentuk lingkaran jingga berpendar perak keunguan. Awan tak bergerak oleh angin seakan ikut takjub oleh cantiknya raja siang. “Waaaa...”, spontan aku bereaksi kemudian terpaku.


Sampai laut benar-benar menelan surya, aku duduk dalam damai. Malam mulai menyelimuti dan lampu-lampu mulai menyala. Aku pun berjalan kembali ke asrama tak jauh dari sana. Berjalan ringan seakan seluruh pikiran tak tenang luruh oleh siraman sinar perak senja.


Aku mengingatnya kembali dengan hati yang ringan. Membuat otakku secerah langit musim gugur. Setelah sampai di kamar aku akan menulis, tekadku. Ya. Aku terbiasa menulis semua yang kurasakan. Kadang aku menulis fiksi. Dialah yang terus mendorongku untuk terus menulis dan menulis di saat aku kehilangan kepercayaan diri dalam menarik pena. Kadang dia menempelkan note di rak buku atau di layar komputer. “Teruslah menulis, cantik<3”. Akhirnya menulis menjadi kebiasaan yang sepertinya sulit dihapus. Sampai sekarang pun aku membawa serta note itu dan menempelkannya kembali di rak buku. Sebagai penyokong semangat. Pikiran dan perasaan telah kembali jernih saat aku keluar lift dan menyusuri koridor sempit menuju kamarku yang berada paling ujung. Kubuka pintu, kugantung jaket dan scarf dan kurebahkan diriku di kasur. “Aku pasti baik-baik saja”, kataku lebih untuk meyakinkan diri. Kepejamkan mata mengumpulkan segala ketenangan tepat di pusat jiwa hingga rasanya cukup. Kugapai meja belajarku dan kubuka laci paling atas. Kuambil perlahan sebuah surat indah berwarna pastel hangat bertuliskan namanya. Undangan pernikahan
Fikri H.
&
Anna Setyiani

9 July 2012

tersebutlah suatu 'nama'


Tersebutlah suatu nama.

Nama yang terpatri.

Nama yang kusebut di kala mendung mendera jiwa.

Di saat hati menciut kecut terjepit.

Bahwa jika jiwa nelangsa ini mengambang terbang, naik, berputar dan berputar, pegangan yang dicari tak lain ialah nama itu.

Dalam gerak tubuh ini, langkah kaki ini, gerak gerik jemari ini mencipta sesuatu, nama itulah yang mendasari.

Kini dan nanti jika suatu terpaan menghalau langkah, jika suatu pasak seakan menjatuhi raga, jika angin menerbangkan ketenangan, dan jika keberanian untuk mengejawantahkan segala hasrat terpendam tersapu kekuasaan, nama itu semakin kuat tertanam.

Memberikan gelombang kuat yang mengokohkan langkah, memberi ketahanan raga, menimbulkan suatu kenyamanan yang mengembalikan ketenangan, dan mencurahkan keberanian. Seakan memberitahuku bahwa aku tak sendirian.

Dalam suka pun, nama itulah yang menyemburkan rasa tentram di jiwa.

Rasa syukur pun terkembang mengingat segala yang telah kuterima dari suatu nama.

Bagiku, dia adalah tujuan.

Setiap manusia memiliki suatu ‘nama’nya masing-masing. Pun bentuk dari nama itu sendiri.

Dan setiap manusia dapat mendeskripsikannya menurut apa yang masing-masing dari mereka rasakan.

Itu hak setiap manusia. Apapun bentuk dan cara mereka menghargainya.

Maka tersebutlah ‘nama’ bagiku yang tak lain adalah ‘Tuhan’


4 July 2012

Pengalam-Pengamat

Suatu hal yang terjadi pada kita dan apa yang kita rasakan terhadapnya mungkin dirasa berbeda oleh orang-orang sekitar, yang mana mereka berdiri sebagai orang ketiga dan bisa dikatakan pula bahwa mereka murni sebagai pengamat.

Mungkin mereka bisa berbagi perasaan yang sama dengan kita jika mereka ikut memposisikan diri dalam posisi kita, atau sebaliknya kita memposisikan diri sebagai mereka.

Yang sering terjadi adalah pengamat yang berusaha memahami dengan memposisikan diri menjadi pengalam. Jika kita melihat pengamen anak-anak perempatan yang sibuk dan berbahaya, sering kita merasa empati terhadap mereka. Rasa empati ini muncul karena (secara sadar atau tidak) kita telah memposisikan diri menjadi mereka. Dengan demikian kita dapat membayangkan bagaimana beratnya kehidupan yang mereka jalani, bagaimana rasanya harus berpanas-panasan sepanjang hari demi receh yang bahkan tak cukup untuk besok.


Namun, apakah pengalam harus ikut memposisikan diri sebagai pengamat?

YA


Pengalam dalam hal ini bukan hanya mereka yang mengalami kejadian tak enak atau musibah yang memprihatinkan. Kejadian menyenangkan seperti memenangkan sebuah undian berhadiah atau baru saja membeli mobil mewah, itu juga termasuk.


Lalu, mengapa pengalam harus memposisikan diri sebagai pengamat?


Karena apa yang mereka katakan mengenai suatu hal yang mereka alami, mungkin, tidak sesuai dengan apa yang pengamat rasakan. Apalagi jika hal tersebut dipandang dari sudut pandang yang berbeda pula oleh pengamat.
Jadi, intinya sebagai apapun kita, hendaknya menempatkan diri pada posisi orang lain sebelum melakukan atau mengatakan apapun.



>>barusan mengatakan sesuatu yang kiranya kurang berkenan dalam hati pengamat (•__•)