19 July 2012

Senja Pencerah Gundah

Samar angin asin tercium hidungku yang berbalut scarf tipis. Rambutku beterbangan mengikuti angin. “Ah, senja masih lama”, gumamku. Kosongnya jadwal pada hari libur sering membuat badanku yang selalu dikejar waktu ini memberontak ingin bergerak. Kadang aku berjalan memutari komplek apartemen, atau menyisir pantai sambil menunggu senja di bangku favoritku. Hari ini pikiranku tak tenang. Akhirnya aku menggerakkan badanku untuk mengalihkannya. Sepanjang pagi aku membersihkan kamarku. Mengepel lantai, menyortir kertas-kertas bahan kuliah, menyuci baju, hingga mengelap rak-rak gelas di samping pencuci piring. Tak puas juga, aku berjalan-jalan ke manapun kaki melangkah. Yang pasti aku ingin menikmati senja di bangku itu. Maka sampailah aku di sana. Konyolnya, menunggu senja malah membuatku teringat akan segala yang membuatku tak tenang.

Dua tahun yang lalu, seperti tak punya malu aku katakan aku menyayanginya. Tak muluk-muluk, aku katakan pula aku tak berharap dia membalas rasa yang sama. Ungkapan polos dan gamblang itu tampaknya membuat wajahnya memerah sempurna. Samar-samar dia membalas dengan jawaban singkat, “Aku juga, tolong jangan menolak rasa yang sama.”


Senyum kecil tak kuasa kutahan saat mengingat saat itu. Polos sekali, pikirku. Sejak peristiwa itu, jangan bayangkan kami menjadi kekasih hangat yang dimabuk suka cita. Kami tetap seperti biasa, bersahabat, bersama dengan beberapa sahabat dekat kami. Semua berjalan sangat natural tanpa pendekatan yang dipaksakan. Walaupun kedekatan kami sudah banyak dibicarakan jauh sebelum peristiwa itu terjadi, tak satupun yang bertahan di dalam kepalaku. Langsung keluar dari telinga kanan setelah masuk dari yang kiri. Akhirnya semua menyerah mendapatkan cerita dariku dan menerima keadaan ini seperti hal yang lumrah terjadi.


Wah, ada anjing chiba ganteng yang sedang diajak berlari sore oleh pemiliknya. Pantai ini memang tempat paling menyenangkan untuk membawa anjing berjalan-jalan atau sekedar joging melepas penat.


Dia bukan tipe pemelihara binatang. Namun, kupikir dia akan cocok sekali memelihara golden retriever. Sama-sama setia dan penyayang. Selain itu mereka juga sama-sama ganteng. Waduh, kok jadi membandingkannya dengan anjing? Bukan itu maksudku. Aku sangat suka anjing dan fakta bahwa liurnya diharamkan oleh agama yang kuanut membuatku memutuskan untuk ‘memeliharanya’ dalam imajinasiku.


“Sebentar lagi”, harapku senang melihat di batas cakrawala muncul semburat jingga.
Aku tak ingin terus memikirkannya. Namun, kemunculannya di kepala ini sungguh bukan kuasaku. Jika aku tahu siapa yang berkuasa, sungguh aku akan menghabisinya dan mengambil alih seluruh kuasa atas pikiranku. Nyatanya, mungkin lebih baik berdamai dengan rindu ini. Toh aku masih bisa bercakap melepas rindu dengannya.


Pasti senja ini akan lebih syahdu dengan kehadirannya. Mungkin dinginnya angin musim gugur ini dapat berkurang karenanya. Sungguh tak logis. Tapi tak bisa aku berhenti untuk membayangkannya. Membayangkan sosoknya yang duduk bersandar di ujung lain bangku ini. Aku ingin dia juga merasakan sinar surya tenggelam yang samar menghangatkan. Berbagi pemandangan, berbagi semua yang dapat dirasakan indera.


Akhirnya saat yang ditunggu tiba. Matahari bersatu dengan bayangannya di ujung horizon, membentuk lingkaran jingga berpendar perak keunguan. Awan tak bergerak oleh angin seakan ikut takjub oleh cantiknya raja siang. “Waaaa...”, spontan aku bereaksi kemudian terpaku.


Sampai laut benar-benar menelan surya, aku duduk dalam damai. Malam mulai menyelimuti dan lampu-lampu mulai menyala. Aku pun berjalan kembali ke asrama tak jauh dari sana. Berjalan ringan seakan seluruh pikiran tak tenang luruh oleh siraman sinar perak senja.


Aku mengingatnya kembali dengan hati yang ringan. Membuat otakku secerah langit musim gugur. Setelah sampai di kamar aku akan menulis, tekadku. Ya. Aku terbiasa menulis semua yang kurasakan. Kadang aku menulis fiksi. Dialah yang terus mendorongku untuk terus menulis dan menulis di saat aku kehilangan kepercayaan diri dalam menarik pena. Kadang dia menempelkan note di rak buku atau di layar komputer. “Teruslah menulis, cantik<3”. Akhirnya menulis menjadi kebiasaan yang sepertinya sulit dihapus. Sampai sekarang pun aku membawa serta note itu dan menempelkannya kembali di rak buku. Sebagai penyokong semangat. Pikiran dan perasaan telah kembali jernih saat aku keluar lift dan menyusuri koridor sempit menuju kamarku yang berada paling ujung. Kubuka pintu, kugantung jaket dan scarf dan kurebahkan diriku di kasur. “Aku pasti baik-baik saja”, kataku lebih untuk meyakinkan diri. Kepejamkan mata mengumpulkan segala ketenangan tepat di pusat jiwa hingga rasanya cukup. Kugapai meja belajarku dan kubuka laci paling atas. Kuambil perlahan sebuah surat indah berwarna pastel hangat bertuliskan namanya. Undangan pernikahan
Fikri H.
&
Anna Setyiani

No comments:

Post a Comment