23 June 2012

Cerita seekor cacing

Suatu pagi yang cerah, seekor cacing tanah mengintip dari suatu liang. Kepalanya melongok, dan tidak seperti biasanya dia terus keluar, mengeluarkan seluruh badannya yang panjang dan lentur. Tuk. Kepalanya membentur tanah saat tubuhnya yang panjang tak kuasa menanggung berat. Dia berjalan keluar liang. Di sekitarnya tumbuh banyak rumput gajah yang cukup untuk melindunginya dari terik sinar sang surya yang bertengger tinggi jauh sekali di atasnya.

Cacing ini rupanya berniat untuk mencari tanah dimana dia bisa membuat rumah baru. Dia memutuskan untuk pergi ke luar karena merasa sedih. Di muka cacing ini terdapat satu tompel hitam besar. Seperti kotoran yang biasanya menempel di ekor. Jika kau tidak bisa membayangkan dimana dan bagaimana muka cacing tanah karena tidak bisa membedakan antara kepala dan ekor, kau akan lebih kaget melihat cacing ini karena ujung yang dikira ekor sebenarnya adalah kepalanya.

Karena takut cacing lain mengejeknya, terkadang ia sengaja berjalan dengan ekor di depan untuk menyembunyikan mukanya yang tampak seperti ekor. Terkadang ia sembunyi saat akan berpapasan dengan cacing lain di kota bawah tanah mereka. Bahkan ia sampai menggali liang baru dengan tergesa-gesa saking takutnya diejek jika berpapasan. Merasa tidak memiliki tempat di kotanya sendiri, ia berpikir untuk pergi mencari tempat di mana tidak ada cacing yang hidup di sana. Dia pun keluar lubang di siang hari dimana cacing-cacing lain bersembunyi di dalam liang berliku agar aman dari matahari.

Saat berjalan pun dia selalu berusaha agar mukanya terus menghadap ke bawah. Takut akan menemukan makhluk lain akan tertawa melihat tompelnya. Di tengah jalan, ada yang memanggilnya dari arah atas. Seekor lalat kiranya.
“Hei cacing, bolehkah aku minta tolong?” tanya si lalat.
Kaget karena dipanggil tiba-tiba, sambil menunduk dia menjawab, “Ma mau minta tolong apa?”
“Sayap kiriku sobek. Bolehkah aku menumpang di punggungmu sampai tumpukan sampah di sana? Aku sangat lapar” pinta lalat.
Si cacing pun memperbolehkan lalat untuk duduk di punggungnya.
“Terima kasih banyak, cacing baik hati” kata lalat gembira.

Dalam perjalanan, cacing itu terus mengarahkan mukanya ke bawah padahal sangat sakit ketika mukanya menyentuh tanah dan menahan berat tubuhnya. Lalat pun bingung dan bertanya, “Mengapa kau selalu menghadap ke bawah? Sakit bukan? Lihatlah ke atas agar kita bisa mengobrol” pinta si lalat.
“Tidak apa-apa. Aku lebih nyaman seperti ini” jawab si cacing.

Sebenarnya tidak begitu masalah bagi cacing untuk menghadap ke bawah dan menghadapkan mukanya ke tanah. Sudah sering ia melakukannya. Yang membuatnya kerepotan adalah karena dia melihat ke bawah, dia tidak bisa melihat ke depan. Ini menyulitkannya untuk memilih jalan yang teduh di bawah rumput gajah sehingga badannya yang licin sering kali sakit kepanasan. Melihat ini, si lalat pun menawarkan bantuan, “Cacing, bagaimana jika kubantu kau mengarahkan jalan?”.
Si cacing yang pemalu karena hampir tidak pernah bertemu makhluk lain merasa sangat senang karena sebenarnya ia sudah mengharapkan bantuan itu tetapi malu untuk mengatakannya. Lalu mereka pun meneruskan perjalanan.

Cara jalan cacing sangat lambat jika dibandingkan dengan kemampuan terbang lalat pada umumnya. Namun si lalat tidak pernah mengeluhkannya dan cacing pun merasa lega. Di tengah jalan, si lalat terjatuh karena badan cacing yang licin. Lalat berusaha naik lagi ke atas tapi tidak bisa karena sebelah sayapnya yang tak berfungsi. Melihat lalat yang kesakitan, si cacing menbantunya naik dengan ekornya yang lebih kecil sehingga lalat lebih mudah naik. Kemudian dengan hati-hati cacing menggerakkan ekornya ke atas badannya agar lalat bisa kembali ke atasnya. “Terima kasih cacing. Kau sungguh baik hati. Aku sangat beruntung bertemu denganmu.”
Si cacing hanya membalas dengan diam. Si lalat heran tetapi enggan bertanya melihat cacing yang mulai berjalan.

Setelah sampai di tumpukan sampah, lalat pun meluncur turun dan berjalan menuju muka cacing untuk berterima kasih. Cacing sangat kaget menyadari langkah lalat dan berusaha memalingkan mukanya. Namun sudah terlambat. Di saat cacing merasa takut akan menerima tawa mengejek dari lalat, si lalat malah berkata “Kau sungguh makhluk baik hati” sambil tersenyum.

“Tapi, lihatlah mukaku ini! Kau tidak merasa geli dengan kotoran yang menempel ini?” tanya cacing heran.
“Ya, di mukamu memang ada tompel. Lalu kenapa? Kau bertubuh kekar dan kuat. Selain itu kau baik hati” sahut lalat.
“Tapi... mukaku kan bertompel..” keluh cacing.
“Ya, tapi coba lihat yang lain. Badanmu tak berbeda dengan cacing lain. Malah lebih kekar” bantah lalat tak mau kalah.

Mendengar jawaban lalat, cacing pun tertegun. Di balik mukanya yang jelek, badannya tumbuh dengan sempurna dan kuat karena sering menggali untuk menyembunyikan diri. Jika dibandingankan dengan cacing yang lain, badannya memang lebih besar dan terbentuk dengan baik.

Sejak saat itu, cacing terus meneruskan perjalanannya tanpa menghadapkan mukanya ke tanah. Dia selalu menggunakan tubuhnya yang kekar untuk membantu mahkluk lain. Hingga akhirnya ia dikenal oleh makhluk lain sebagai cacing si muka tompel yang suka menolong. Awalnya, panggilan ‘cacing si muka tompel’ menyakiti hatinya tetapi ia menerima panggilan itu dan menganggapnya sebagai ciri khas yang tidak dimiliki cacing yang lain dan ia cukup puas dengan itu.

Akhirnya, cacing itu sadar bahwa dia tak seburuk yang dia kira. Kemurungannya selama ini dikarenakan dia hanya fokus pada satu tompel di wajahnya dan mengaburkan banyak hal lain dari dirinya. Akhirnya cacing si muka tompel menemukan tanah dimana dia bisa masuk ke liangnya, maupun berjalan di atasnya sambil bermain dengan makhluk lain tanpa menyembunyikan mukanya.

No comments:

Post a Comment